Sabtu, 21 September 2024

Mengawali Photovoice di Desa Pagak: ‘Sebuah gambar bernilai seribu kata’

Caroline Wang dan Mary Ann Burris mengembangkan metodologi photovoice sebagai sarana dan pemantik penelitian partisipatif dalam rangka memberdayakan kelompok marginal. Melalui photovoice, partisipan mengidentifikasi, mendokumentasikan, serta menampilkan kekuatan dan kekhawatiran komunitas dari perspektif anggota komunitas sendiri melalui penggunaan teknologi fotografi.

Sebagai praktik yang berbasis pada produksi pengetahuan, photovoice memiliki tiga tujuan utama: (1) untuk memungkinkan orang merekam dan mencerminkan kekuatan dan perhatian komunitas mereka, (2) untuk mempromosikan dialog kritis dan pengetahuan tentang isu-isu penting melalui diskusi foto dalam kelompok besar dan kecil, dan (3) untuk menjangkau para pembuat kebijakan (Wang & Burris, 1997).

Jumat (20/09) kemarin, 10 orang kader kesehatan (4 kader Balita, 2 kader Lansia dan 4 kader PTM) mengikuti kegiatan photovoice di Ponkesdes Pagak yang beralamatkan di Dusun Tempur RT 06 RW 12 Desa Pagak, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang.

Peserta dan fasilitator photovoice berpose bersama perawat Ponkesdes Pagak

Acara dimulai pada pukul 10.39 WIB. Pembawa acara Purwiantiwi mengucapkan selamat datang di Ponkesdes Pagak untuk mengikuti photovoice. Kemudian ia memandu doa demi kelancaran kegiatan yang diikuti oleh sejumlah kader kesehatan Desa Pagak.

Setelah itu, acara diisi dengan sambutan dari perawat Ponkesdes Pagak Sri Hidayati, S.Kep.Ners. Dalam sambutannya, perawat Sri mengucapkan terima kasih kepada personil dari Yayasan Percik Salatiga (YPS) yang tergabung dalam penelitian NIHR Global Health Research Centre for Non-Communicable Diseases and Environmental Change (NIHR-GHRC NCDs & EC) dan fasilitator NIHR Universitas Brwijaya (UB) kedatangannya di Ponkesdes Pagak serta kader-kader yang menjadi peserta dalam pertemuan ini.

Lebih lanjut, perawat Sri menginformasikan kepada peserta bahwa kegiatan photovoice ini akan berlangsung dalam beberapa tahap, mulai dari tahap 1 hingga 4 atau 6 tahap. Ia berharap semua kader ini agar bisa mengikuti sampai tuntas setiap tahapan agar mendapatkan mendapatkan bekal ketrampilan baru, dan hari ini baru tahap 1.

Usai sambutan dari perawat Ponkesdes Pagak, acara diteruskan dengan perkenalan dari para peserta terlebih dahulu. Dimulai dari Nuryl Nindya, Cicik Krisdianti, Dyah Anggun Sasmita, Dwi Mayasari, Della Apryanagustin, Istiawati, Sri Wahyuni, Priyatin, Purwiantiwi hingga Viska Pratiska.

Bangunan Ponkesdes Pagak yang dikelilingi lahan tebu

Rampung acara perkenalan peserta, Wakil Direktur YPS Damar Waskitojati, S.Kom., M.Si mengawali dengan Focus Group Discussion (FGD) sebentar terkait pengelolaan sampah dan kesehatan masyarakat.

“Kami ingin mendengar cerita pengelolaan sampah di Desa Pagak. Kebiasaan di rumah tangga yang ada di Desa Pagak dalam pengelolaan sampah,” kata pembuka Damar dalam memandu FGD sebagai pengantar untuk masuk ke dalam photovoice.

Dari hasil FGD pengantar itu, diketahui bahwa umumnya sampah rumah tangga dibuang ke lubang sampah di belakang rumah. Ada juga yang dibuatkan jedingan, sebuah bangunan semen seperti kolah (bak air).

Di Desa Pagak, diakui oleh peserta, memang belum ada jasa pengangkutan sampah kecuali hanya di daerah sekitar Pasar Pagak saja. Karena inilah, tak ada jalan lain kecuali lebih menyukai dengan cara dibakar. Mereka umumnya membakar di sore atau malam hari agar jemuran tidak sangit. Bau sangit itu melekat.

“Daripada menumpuk mendingan dibakar, cepat menjadi bersih tempatnya,” kata salah seorang peserta.

Suasana photovoice di Ponkesdes Pagak

Namun demikian, kendati terbiasa dengan pembakaran sampah, mereka juga mengakui melakukan pemilahan sampah terlebih dahulu. Sampah plastik yang masih memiliki nilai jual, seperti botol airminum, botol minyak goreng, dan lain-lain, akan disendirikan untuk dijual ke pengepul yang secara rutin berkeliling. Kebetulan ada dua pengepul dari desanya yang cukup dikenal warga, yang senantiasa berkeliling untuk membelinya.

Peserta yang umumnya kader kesehatan ini juga mengakui bahwa asap dari pembakaran tersebut sering membikin sesak napas dan panas hidung (pengar). Oleh karena itu, mereka umumnya menyiasati dengan cara menghindari asap.

Selain itu, kalau ada kelahiran masih dijumpai tradisi diyang selama selapan atau 35 hari dengan cara membakar kayu atau sepet di depan rumah yang sedang memiliki bayi. “Diyang itu kalau menengok bayi, biar gak membawa balak,” jelas seorang peserta.

“Dari medis, tangan yang diasapkan dulu agar waktu memegang bayinya nanti steril,” imbuh perawat Sri yang senantiasa menyimak dalam pertemuan ini.

Fasilitator photovoice dan sebagian peserta bersandar tembok di sisi selatan

Selain diyang, pembakaran daduk (daun tebu yang kering) juga mengeluarkan asap yang kerap mengganggu. Gangguannya berupa langes yang masuk ke rumah yang berdekatan dengan lokasi pembakaran daduk.

Pukul 11.23 WIB, Christina Arief T. Mumpuni dari YPS melanjutkan dengan penjelasan photovoice kepada peserta. Peserta mendapatkan penjelasan dan gambaran dari photovoice. Kemudian diinformasikan pula rule of game pengambilan gambar nantinya. Jika menyangkut gambar yang diambil juga perlu izin kepada orangnya.

Sepuluh peserta diharapkan untuk pertemuan berikutnya sudah mengumpulkan foto melalui handphone, menggunakannya untuk menceritakan kisah yang difoto dengan kata-kata mereka sendiri, dan membagikannya dengan fasilitator photovoice untuk digunakan sebagai informasi guna menginformasikan dan mengadaptasi program mereka.

Foto-foto mengartikulasikan apa yang penting bagi fotografer. Keindahan dan kekuatan photovoice adalah bahwa teknik ini memberi izin kepada peserta untuk mengekspresikan suara hati mereka. Dengan mentransfer kekuatan kepada individu, memungkinkan mereka untuk memutuskan apa yang penting, dan cerita apa yang akan diceritakan, fasilitator photovoice akan memperoleh perspektif refleksi langsung tentang bagaimana pengelolaan sampah di desanya memengaruhi kehidupan mereka.

Peserta photovoice yang bersandar di tembok sisi utara

Sehingga, mengawali photovoice di Desa Pagak sebagai sebuah langkah yang dalam bahasanya Bárbara Badanta et. al. (2021), ‘A picture is worth a thousand words’ (Sebuah gambar bernilai seribu kata).

‘Sebuah gambar bernilai seribu kata’ adalah sebuah pepatah dalam berbagai bahasa yang berarti bahwa ide-ide yang kompleks dan terkadang beragam dapat disampaikan oleh satu gambar diam, yang menyampaikan makna atau esensinya secara lebih efektif daripada sekadar deskripsi verbal.

Pepatah ini diperkirakan muncul dalam iklan surat kabar pada tahun 1913 namun sudah mengalami modifikasi kata, dan pepatah itu sendiri sering dihubungkan dengan ungkapan Konfusius, ‘Bǎi wén bùrú yī jiàn’ (Mendengar sesuatu seratus kali tidak lebih baik daripada melihatnya sekali). *** [210924]

Oleh: Budiarto Eko Kusumo
Editor: Budiarto Eko Kusumo

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

Risk Checker

Risk Checker

Indeks Massa Tubuh

Supplied by BMI Calculator Canada

Statistik Blog

Sahabat eKader

Label

Arsip Blog