Tampilkan postingan dengan label Peneliti Yayasan Percik Salatiga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Peneliti Yayasan Percik Salatiga. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 Agustus 2024

Sore Hari, Circle Conversation Diadakan di Desa Pagak

Setelah pagi menggelar circle conversation di Desa Tlogorejo, bakda Ashar circle keeper dan fasilitator NIHR bergerak menuju ke Desa Pagak untuk melangsungkan kegiatan yang sama yang telah dilakukan di Desa Tlogorejo.

Rabu (28/08) kala sore hari yang dingin, beberapa berkumpul di rumah Riatin yang beralamatkan di Dusun Tempur RT 09 RW 13 Desa Pagak, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang. Ternyata lokasi yang akan menjadi tempat berlangsungnya circle conversation itu tepat berada di depan rumah perawat Desa Pagak Sri Hidayati, S.Kep.Ners.

Pembukaan circle onversaton dilakukan kader kesehata selaku organizing committee

Seperti di Desa Tlogorejo, struktur pertemuan ini sederhana, dengan awal (pembukaan, perkenalan, check-in), tengah (berbicara tentang topik), dan akhir (penutupan dan check-out). Pembukaan dilakukan kader kesehatan Vista Pratiska dan notulis dipegang oleh kader kesehatan Purwiantiwi.

Begitu selesai pembukaan, acara dilanjutkan dengan prakata dari perawat Desa Pagak. Pada kesempatan itu, perawat Sri Hidayati yang juga dkenal sebagai ahli kecantikan itu menjelaskan kegiatan ini untuk mengetahui pengelolaan sampah yang sudah berlangsung di Desa Pagak, maka dalam diskusi nanti silakan sharing saja.

Usai prakata dari perawat Sri Hidayati, acara diserahkan kepada circle keeper Christina Arief T. Mumpuni, seorang anggota Tim Penelitian Theme 3: People empowerment and community dalam penelitian NIHR Global Health Research Centre for Non-Communicable Diseases and Environmental Change (NIHR-GHRC NCDs & EC).

Perawat, kader kesehatan, dan partisipan perempuan

Pada kesempatan itu, Christina mengawali circle conversation (dialog melingkar) dengan memokuskan pada percakapan yang terefleksi dalam 3 pertanyaan: Apa yang Anda ketahui dari praktik pengelolaan sampah di rumah Anda?; Apa yang Anda ketahui dari dampak pembakaran sampah terhadap kesehatan khususnya penyakit tidak menular?; dan Apakah menurut Anda membakar sampah menjadi solusi permasalahan sampah yang ada?

Kegiatan yang dihadiri 8 partisipan (3 laki-laki; 5 perempuan) itu, diberi waktu 3 menit per orang dalam setiap sesi pertanyaan reflektif. Mereka punya kesetaraan dalam berbagi pengalaman mereka masing-masing.

Dari hasil circle conversation itu, dapat dimengerti bahwa berdasarkan kondisi geografis yang ada di Dusun Tempur, Desa Pagak, umumnya berbukit-bukit sehingga banyak jurang. Jurang inilah yang kerap dijadikan tempat pembuangan sampah.

Partisipan laki-laki dalam circle conversation di  Desa Pagak

Sebagian besar partisipan memiliki tanah pekarangan berkontur bukit kapur. Kata mereka, kita buang sampah di situ tidak mungkin bakal rata tanahnya karena curamnya. Hanya saja, sampah yang udah kering biasanya dibakar agar tidak berserakan.

Kebetulan di Dusun Tempur ini memiliki 2 pengepul yang menjadi partsipan, sehingga dalam circle conversation tersebut memang terlihat adanya pemilahan oleh sejumlah warga dalam pengelolaan sampah. Botol-botol yang masih punya nilai jual akan loakkan kepada pengepul tersebut.

Diakui oleh partisipan, memang masih terdapat pembakaran sampah mengingat lahan yang masih luas, berkontur perbukitan yang jauh dari perumahan, dan juga belum ada sistem pengangkutan sampah secara regular.

Suasana circle conversation di sore hari

Mereka juga paham jika pembakaran sampah berefek pada kesehatannya, seperti batuk, pusing, sakit mata. Selama ini, mereka menyiasati dengan menghindari asapnya saat pembakaran sampah yang dilakukan.

Solusi yang tertangkap dari partisipan adalah sampah sebaiknya dipilah. Yang bisa dipilah, dipilah dulu. Yang tidak memiliki nilai ekonomis, dibakar!

Implementasi circle conversation yang dimulai pada pukul 16.15 WIB ini berakhir pada pukul 17,23 WIB di tengah suhu yang semakin dingin. Namun sebelum meninggalkan tempat, pemilik rumah Riantin mempersilakan untuk mencicipi hidangan yang telah disediakan ada pecel, kare ayam, dan tempe goreng. *** [290824]

Oleh: Budiarto Eko Kusumo
Editor: Budiarto Eko Kusumo

Share:

Pagi Itu, Circle Conversation Berlangsung di Balai Desa Tlogorejo

“Dalam dialog, individu memperoleh wawasan yang tidak mungkin diperoleh secara individu.” — Peter Senge


Circle conversation (dialog melingkar) adalah simbol yang mempromosikan berbagi ide, kesetaraan, rasa hormat terhadap ide satu sama lain, kebersamaan, dan kasih sayang dan cinta yang terus-menerus dan tak berujung satu sama lain. Circle conversation berpusat pada kesetaraan karena prosesnya didasarkan pada kesetaraan di antara para peserta (termasuk fasilitator, yang sering disebut penjaga lingkaran) dan berbagi kekuasaan satu sama lain (Rieth, 2023).

Circle conversation tersebut didasarkan pada sistem pengetahuan dan nilai-nilai setempat dan berfokus pada berbagi cerita sebagai sarana untuk mendukung nilai-nilai berbagi pengetahuan, karena setiap orang memiliki pengetahuan untuk dibagikan, saling keterhubungan, dan tanggung jawab kepada masyarakat. Sehingga, dialog melingkar merupakan syarat dasar bagi konstruksi pengetahuan dalam praktik, dari komunikasi antar individu, yang akibatnya akan menghasilkan transformasi individu dan sosial.

Balai Desa Tlogorejo di pagi yang cerah

Circle conversation adalah pertemuan yang ditandai dengan persiapan yang matang, topik pertanyaan, dan struktur yang egaliter. Pagi itu, Rabu (28/08), 9 anggota masyarakat, organizing committee (2 orang kader), bidan desa, circle keeper, dan fasilitator NIHR duduk dengan nyaman dalam sebuah lingkaran di Pendopo Balai Desa Tlogorejo yang beralamatkan di Dusun Dadapan RT 16 RW 06 Desa Tlogorejo, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang.

Mereka diundang untuk berpartisipasi dalam circle conversation (dialog melingkar) yang difasilitatori oleh salah Christina Arief T. Mumpuni, S.H., M.I.K., seorang anggota Tim Penelitian Theme 3: People empowerment and community dalam penelitian NIHR Global Health Research Centre for Non-Communicable Diseases and Environmental Change (NIHR-GHRC NCDs & EC) Universitas Brawijaya (UB).

Struktur pertemuan ini sederhana, dengan awal (pembukaan, perkenalan, check-in), tengah (berbicara tentang topik), dan akhir (penutupan dan check-out). Percakapan terstruktur di sekitar serangkaian pertanyaan. Setiap peserta akan memiliki kesempatan untuk berbicara pada setiap pertanyaan tanpa gangguan. Lingkaran (circle) menggunakan alat bicara yang diberikan dari orang ke orang, untuk menunjuk siapa yang dapat berbicara pada saat itu—dan siapa yang mendengarkan (semua orang).

Circle keeper menjelaskan aturan main dalam circle conversation

Pembukaan dilakukan oleh pembawa acara Sutarmi, seorang kader kesehatan Desa Tlogorejo. Meski sempat terjatuh karen tersandung benjolan, Sutarmi tetap semangat dalam mengelola pertemuan circle conversation ini dari awal hingga akhir.

Setelah pembukaan, terlebih dahulu dilakukan doa yang dipandu oleh kader kesehatan Desa Tlogorejo Iit Nurhanifah, yang selanjutnya bertindak sebagai notulis yang bertanggung jawab dalam pencatatan hasil circle conversation nantinya.

Sebelum memasuki pembicaraan terkait persampahan yang ada di Desa Tlogorejo, pembawa acara mempersilakan bidan Desa Tlogorejo, Sulianik, A.Md.Keb. untuk memberikan pengantar dalam pelaksanaan circle conversation.

Implementasi circle conversation di Balai Desa Tlogorejo (Dipotret dari selatan)

Setelah itu, semua yang hadir dalam circle conversation dipersilakan untuk untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu satu persatu. Perkenalan ini sekaligus menjadi sarana kehadiran diri dalam circle conversation tersebut.

Usai perkenalan diri, circle kepper Christina menjelaskan tujuan dan circle conversation dalam penelitian ini. Kemudian, formulir informed consent dibacakan dan untuk ditandatangani oleh partisipan.

Setelah itu, barulah Christina memulai tema percakapan/dialog berdasarkan panduan untuk memulai percakapan, yang terefleksi dalam 3 pertanyaan:  Apa yang Anda ketahui dari praktik pengelolaan sampah di rumah Anda?;  Apa yang kita ketahui dari dampak pembakaran sampah terhadap kesehatan khususnya penyakit tidak menular?; dan Apakah menurut Anda membakar sampah menjadi solusi permasalahan sampah yang ada?

Implementasi circle conversation di Balai Desa Tlogorejo (Dipotret dari sisi timur)

Setiap partisipan dipersilahakn untuk bercerita atau berbagi pengalaman maupun pengetahuannya dengan dibatasi 3 menit per partisipan dalam setiap pertanyaan reflektif tersebut. Semua partisipan pun kemudian berbagi cerita dalam lingkaran tersebut.

Dari hasil circle conversation tersebut diketahui bahwa kebiasaan partisipan umumnya mengumpulkan sampah di pekarangan atau di sekitarnya. Mereka biasanya membuat lobang atau tempat bak sampah dari semen. Bila sampahnya sudah kering akan dibakar. 

Tapi ada juga sebagian partisipan yang membuatnya menjadi kompos, dan memilahnya terlebih dahulu. Botol-botol plastik yang punya nilai jual akan diloakkan ke pengepul atau diberikan ke pemulung. Kebetulan ada salah partisipan terdapat seorang “sarjana pemulung”, yang setiap harinya berkeliling.

Implementasi circle conversation di Balai Desa Tlogorejo (Dipotret dari sisi barat)

Partisipan juga merasakan gemasnya, jika ada orang yang membuang sampah di selokan dekat rumahnya atau dipinggir Waduk Karangkates. Bikin bau dan mampet selokan. Selain itu, mereka juga menyadari bahwa pengelolaan sampah yang tidak baik akan menimbulkan masalah, terutama bagi kesehatan, seperti menjadi sarang nyamuk, lalat, dan kalau dibakar akan menimbulkan sesak napas, batuk, maupun pusing.

Mereka umumnya membakar sampah karena belum ada pengelolaan sampah dengan cara diangkut setiap harinya, sehingga mereka mengadalkan pekarangannya untuk membakarnya agar cepat bersih, dan tidak ada tumpukan sampah yang bau.

Berbeda dengan partispan lainnya, “sarjana pemulung” memiliki pendapat tersendiri agar pembakaran sampah tidak berdampak bagi kesehatan masyarakat. “Tiap rumah harus punya bak sampah. Tujuannya agar mereka berkesadaran untuk tidak membuang sampah di selokan atau got,” terangnya.

Fasilitator NIHR selalu mencatat guna laporan kegiatan

Ia pun merasa perlu adanya pendampingan dalam pengelolaan sampah. Tujuannya agar masyarakat bisa paham dalam memperlakukan sampah dengan baik. “Sampah basi bisa jadi penyakit, tapi kalau diurai malah bermafaat,” pungkas “sarjana pemulung” tersebut.

Circle conversation yang dimulai pada pukul 09.20 WIB ini berakhir pada pukul 10.36 WIB. Setelah penutupan, dan semua partisipan berpamitan. Fasilitator NIHR dan circle keeper bergegas pamitan juga karena akan mengantar surat izin pemasangan alat pengukur kualitas udara di Kantor Camat Pagak, Kantor Desa Sumberejo, dan Kepala Dusun Bekur. *** [290824]

Oleh: Budiarto Eko Kusumo
Editor: Budiarto Eko Kusumo

Share:

Kamis, 21 Maret 2024

Ngobrol Bareng Kader Kesehatan Desa Sepanjang: Langkah Menuju Photovoice

Sepuluh kader kesehatan Desa Sepanjang – Masito, Istinah, Ifa Lutfiyah, Usfatul Ulumiyah, Eni Yuliati, Lina Lestari, Lilik Kusmiati, Siti Aisyah, Yuli Andari, Humairoh – berkumpul di ruangan bernuansa teras milik kader SMARThealth, Masito, pada Rabu (20/03). Mereka dengan berdandan rapi dan cantik-cantik menghadiri pertemuan untuk ngobrol bareng bersama staf peneliti dan advokasi Yayasan Percik Salatiga (YPS) Christina Arief T. Mumpuni, S.H., M.I.K., dalam suasana Ramadhan.

Tujuannya mendiskusikan secara santai, tidak formal banget mengenai persampahan (waste) yang ada di lingkungan keluarga mereka masing-masing maupun yang ada di Desa Sepanjang. Suasananya mirip focus group discussion (FGD) tapi yang menjalankan kader kesehatan semua, mulai dari moderatornya hingga proses diskusinya.

Staf peneliti YPS dan fasilitator NIHR Global Health Research Center on Non-Communicable Disease and Environment Change (NIHR-GHRC NCD & EC) hanya berperan sebagai pemantik dalam diskusi yang dilakukan oleh kader tersebut.

Acara dimulai pada pukul 11.36 WIB dengan diawali prakata dari fasilitator NIHR dan sekaligus memperkenalkan staf peneliti YPS serta peranan YPS dalam NIHR ke depannya. Setelah itu, fasilitator menyerahkan sepenuhnya waktu kepada staf peneliti YPS untuk memperkenalkan diri secara langsung serta eksistensi YPS dalam kancah penelitian.

Kader kesehatan Desa Sepanjang berpose dengan staf peneliti Yayasan Percik Salatiga

Usai perkenalan, staf peneliti YPS langsung membentuk formasi duduk mereka, dan memberikan tema bahasan terkait persampahan dalam diskusi yang akan dilakukan oleh 10 kader kesehatan tersebut. Prosesnya diserahkan sepenuhnya kepada kader. 

Staf peneliti YPS dan fasilitator NIHR lebih banyak berperan menjadi pendengar saja dalam diskusi tersebut. Jika ada pertanyaan dari kader, barulah memantiknya. Pengertian memantik di sini adalah merangsang minat dan perhatian kader dalam mendiskusikan sampah yang ada di lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakatnya.

Dalam pertemuan pertama ini, kader kesehatan umumnya bertestimoni mengenai dirinya dalam menangani sampah-sampah yang ada di dalam keluarga mereka masing-masing terlebih dahulu. Dari ceritera-ceritera yang ditangkap fasilitator dalam testimoni kader terdapat pendapat-pendapat yang berbeda di antara mereka.

Ada yang bilang, sampah keluarga dikumpulkan dulu dan nanti kalau sudah banyak dibakar di belakang rumahnya, kecuali air hasil cucian beras umumnya ditampung dalam tong besar berwarna biru untuk digunakan menjadi pupuk.

Prakata fasilitator NIHR dalam diskusi photovoice di Desa Sepanjang, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang

Ada yang berkata, sampah sayur ditaruh di pot dan sampah plastik akan dibakar, seperti tas plastik maupun sachet bumbu masak dan lain-lain, kecuali yang dalam bentuk botol. Mereka akan menjualnya ke pengumpul barang bekas yang berkeliling di desanya.

Terus ada juga, kader yang tidak punya halaman luas berlangganan kepada pengepul sampah dari desa lain, yaitu Putat Kidul. Sampah akan diambil 2 kali dalam seminggu. Kader tersebut akan membayar jasa tersebut secara bulanan. Per bulannya ditarik 25ribu.

Sedangkan, yang memiliki lahan luas di belakang rumah, sampah yang dihasilkan keluarganya akan dibuang di belakang rumah dalam lubang terus nanti ditimbun. Seperti rumah tangga yang dulunya pernah membuat batu bata, beka galiannya yang cukup dalam digunakan untuk menimbun sampah dalam jangka panjang.

Ada juga yang berceritera bahwa di rumahnya masih mempunyai dapur kayu dan belakang rumahnya terdapat bekas lubang pembuatan batu bata. Sampah plastik seperti tas plastik (kresek) dan sachet bumbu masak akan dibakar di tungku berbahan kayu bakar setelah selesai memasak; sampah kertas untuk menyalakan kayu bakar dalam tungkunya; dan sampah basahnya dibuang di bekas lubang pembuatan batu bata. Kalau sudah kering akan dibakar bersama rerontokkan daun bambu yang cukup banyak di halaman belakang rumahnya.

Suasana diskusi sampah rumah tangga dan sampah lingkungan sekitar

Usai mereka bertestimoni, mereka terus berdiskusi dengan obrolan sampah dalam lingkungan masyarakat. Kader yang hadir dalam obrolan ini mengakui bahwa di Desa Sepanjang telah ada bank sampah. Namun dalam 3 tahun ini tidak jalan lagi karena respon dari masyarakat kurang. Hal ini menurut mereka, petugas yang mengambil sampah tidak tentu datangnya dan yang diambil hanya yang laku dijual saja sehingga masyarakat menjadi malas. Pengepulnya juga kerap berganti-ganti personil dan gemar pilih-pilih, petugas bank sampahnya menjadi bingung dan akhirnya mutung (ngambek) dan terus dibunag di belakang halaman rumah dan dibakar. Mereka tak mau ribet, hanya ingin perlu yang praktis saja.

Diakui oleh kader, sebenarnya di Desa Sepanjang telah dilakukan edukasi terkait bahaya sampah yang dibakar, tapi mengingat kendala yang dihadapi seperti dalam pengelolaan bank sampah di atas, terus mereka tidak tahu harus bagaimana lagi.

Di samping itu, kader juga mengemukaan bahwa kader di Desa Sepanjang juga pernah mendapatkan pelatihan sabun ecoenzym, akan tetapi karena kebiasaan masyarakat di Desa Sepanjang gemar menggunakan sabun yang berbusa, produk sabun ecoenzym kurang diminati lantaran tidak berbusa.

Kegaliban lain yang masih dijumpai di Desa Sepanjang, setiap panen raya terlihat pemandangan pembakaran jerami, bonggol jagung maupun sisa panenan tebu. Setiap orang yang melintas di antara persawahan yang sedang panen, akan terlihat asap mengepul dari pembakaran jerami di sawah.

Suasana kader merencanakan pertemuan berikutnya untuk membahas foto-foto yang akan dikirimkan kader

Tak hanya itu, masih adanya “dhiyangan”, sebuah tradisi pengasapan di depan rumah yang sedang memiliki bayi hingga umur selapan dengan membakar agar keluar asap yang mengepul. Konon, asap tersebut dipercaya dapat mengusir jin agar tak mengganggu bayinya. Orangtua akan membakar sepet (sabut kelapa) setiap hari dalam selapan hari.

Usai diskusi dengan suasana yang mengalir, sepuluh kader tersebut mendapatkan tugas untuk memotret apa yang telah diceriterakan dan didiskusikan tadi. Setiap kader diminta untuk memotret sebanyak 5 buah yang berbeda, dan dikirimkan ke staf peneliti YPS atau dalam group yang telah dibuat kader. Kemudian hasil fotonya nanti akan didiskusikan dalam pertemuan berikutnya, yang rencananya akan dilakukan sebanyak 5 kali dalam 5 minggu ke depannya.

Pada taraf itu, kader telah memasuki apa yang dikenal dengan photovoice. Photovoice adalah proses di mana orang dapat mengidentifikasi, mewakili, dan meningkatkan komunitas mereka melalui teknik fotografi tertentu (Wang & Burris, 1997). 

Bagi Wang & Burris, dalam photovoice itu, foto mengandung arti, yang di dalamnya menceriterakan potret atau diri sang pengambil foto, menceriterakan komunitas tertentu, atau mendeskripsikan sebuah fenomena. Photovoice menciptakan peluang representasi diri kader kesehatan melalui fotografi. Dari situ akan terlihat tindakan partisipasif kader kesehatan dalam persampahan. *** [210324]

Oleh: Budiarto Eko Kusumo
Editor: Budiarto Eko Kusumo

Share:

Rabu, 20 Maret 2024

Kunjungan Staf Peneliti YPS Ke Desa Intervensi NIHR dan Rencana Uji Coba Instrumen Photovoice

Studi lapangan memungkinkan peneliti untuk mengamati dan mengumpulkan data di lingkungan dunia nyata. Berbeda dengan metode penelitian berbasis laboratorium atau tradisional, studi lapangan memungkinkan peneliti menyelidiki fenomena kompleks di lingkungannya, sehingga memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang konteks penelitian.

Usai mengurus surat izin penelitian “Pengembangan Inovasi SMARThealth untuk Menurunkan Risiko PPOK dan Penyakit Jantung yang Disebabkan oleh Polusi Udara Akibat Pembakaran Sampah di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia”, dalam skema NIHR Global Health Research Center on Non-Communicable Disease and Enviroment Change (NIHR-GHRC NCD & EC), fasilitator langsung menemani staf peneliti dan advokasi Yayasan Percik Salatiga (YPS) Christina Arief T. Mumpuni, S.H., M.I.K, berkeliling ke empat desa intervensi, yakni Desa Sumberejo (Pagak), Desa Gampingan (Pagak), Desa Krebet Senggrong (Bululawang), dan Desa Bakalan (Bululawang).

Empat desa tersebut bakal menjadi desa intervensi dalam NIHR-GHRC NCD & EC. Oleh karena itu, peneliti yang akan bertugas dalam CEI (Community engagement and involvement) dengan berkomitmen untuk melibatkan partisipasi masyarakat, perlu mengenal lingkungannya terlebih dahulu sebelum benar-benar turun lapangan (field work).

Staf peneliti YPS berencana ujicoba instrumen photovoice dan circle communication bersama kader kesehatan Desa Sepanjang, Kecamatan Gondanglegi

Dalam tradisi lembaga penelitian, mengenal lingkungan wilayah yang akan menjadi locus sangatlah penting agar supaya bisa memahami karakteristik wilayah tersebut atau dalam bahasa peneliti kerap disebut dengan enumeration area (EA).

Setelah semalam berdiskusi antara fasilitator dan staf peneliti YPS di Ruang Pertemuan Sekretariat SMARThealth Kepanjen, hari Selasa (19/03), fasilitator mendampinginya berkeliling mengenal empat EA intervensi tersebut.

Dimulai dengan kunjungan ke Dusun Bekur, Desa Sumberejo, fasilitator mengenalkannya. Dengan membocengkan staf peneliti YPS dengan sepeda motor andalan Sekretariat SMARThealth “Revo”, fasilitator berkeliling dusun tersebut sambil melihat beberapa tungku pembakaran gamping dari 10 tungku yang teridentifikasi, dan pemasangan Flex Air Quality Sensor.

Staf peneliti YPS lihat bakaran sampah di belakang rumah kader kesehatan

Dari Dusun Bekur, fasilitator menjadi guide berkeliling ke desa Gampingan. Mulai dari memperlihatkan PT Ekamas Fortuna, sebuah pabrik kertas yang berdomisili di Desa Gampingan, terus ke Dusun Dempok. Dusun Dempok yang terkenal dengan Wisata Mahoni Dempok, sesungguhnya merupakan lokasi awal pembuangan limbah kertas yang tercampur plastik dari PT Ekamas Fortuna. Kemudian dilanjutkan menuju lokasi tungku pembakaran batu gamping (limestone burning furnace) di Desa Gampingan.

Dari Desa Gampingan, facilitator langsung mengajak ke Desa Krebet Senggrong di Bululawang. Namun baru sampai Desa Kedupedaringan, sepeda motor mengalami kebocoran ban sehingga terpaksa harus ditambal dulu di bengkel yang berada di Dusun Ngadiluwih, Desa Kedungpedaringan.

Setelah ban ditambal, fasiltator melanjutkan perjalanan dengan mengubah arah dengan menerabas lewat Desa Sukorejo terus Desa Bulupitu (Gondanglegi) untuk menuju ke Desa Krebet Senggrong berjarak sekitar 20 kilometer.

lobang pembakaran sampah

Dari Krebet Senggrong lanjut ke Desa Bakalan yang berjarak 4 kilometer. Kedua desa ini dilintasi jalan besar menuju ke Turen, dan secara geografis mengitari Pabrik Gula Krebet yang heritage dan sekaligus mengeluarkan asap hitam manakala terjadi proses produksi.

Selesai dari dua desa di Kecamatan Bululawang, staf peneliti YPS diajak fasilitator menuju ke Desa Sepanjang, Kecamatan Gondanglegi untuk jumpa kader kesehatan di sana. Fasilitator berusaha mencari jalan terabasan melalui Desa Talangsuko, Kecamatan Turen.

Di Sepanjang, fasilitator mempertemukan dengan salah seorang kader SMARThealth untuk menjadwalkan ujicoba instrumen photovoice dan circle communication yang nantinya akan diterapkan di desa-desa intervensi juga ketika surat izin penelitian sudah keluar.

Setelah beberapa saat, fasilitator menjembatani diskusi antara staf peneliti YPS dan kader SMARThealth Masito, langsung berpamitan balik ke Kepanjen. Sampai di Kauman, fasilitator memperlihatkan kos-kosan untuk staf peneliti YPS yang bergender wanita tersebut. Setelah itu, baru balik ke Sekretariat SMARThealth Kepanjen dan sampai di sana sudah saatnya menjelang saat menjalankan buka puasa. *** [200324]

Oleh: Budiarto Eko Kusumo
Editor: Budiarto Eko Kusumo

Share:

Kamis, 08 Juni 2023

Peneliti Yayasan Percik Salatiga Lakukan Observasi di TPS GPA dan TPA Randuagung Kabupaten Malang

Didampingi salah seorang Tim SMARThealth Universitas Brawijaya (UB), dua staf peneliti Yayasan Percik Salatiga (YPS) – Damar Waskitojati dan Singgih Nugroho – melakukan observasil lapangan terkait persampahan di dua lokasi, yaitu Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Perum Griya Permata Alam (GPA) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Randuagung, pada Rabu (07/06).

TPS GPA berada di Jalan Griya Permata Alam, Dusun Perumahan RT 05 RW 05 Desa Ngijo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, dan TPA Randuagung berlokasi di Desa Randuagung, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.

Dengan berkendara mobil Mitsubishi Kuda, kedua peneliti YPS bersama Tim SMARThealth UB yang dipandu google map pemberian perawat Desa Ngijo, Della, tiba di TPA GPA pada pukul 11.14 WIB. Di lokasi TPS, kedua peneliti YPS diterima dengan ramah oleh Faisol Effendi, A.Md di halaman TPA yang berpaving block. Selang beberapa saat, perawat Della pun tiba di lokasi juga. Perawat Della ini sesungguhnya yang menjadi penghubung dengan Ketua Pengelola TPS GPA tersebut.

Peneliti Yayasan Percik Salatiga beraudiensi dengan pengelola TPS GPA Karangploso yang didampingi perawat Desa Ngijo

DI TPS GPA, kedua peneliti melakukan observasi lapangan di lokasi dan sekaligus melakukan wawancara dengan Faisol untuk memahami mengenai persoalan pengelolaan sampah di situ. Diakui Faisol, dulu sampah di TPS ini selalu menggunung setiap tiga bulan, Karena dari tiga kontainer, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) hanya mampu mengangkut satu kontainer saja. “Kalau dibiarkan seperti ini terus, maka kapasitas lahan TPS yang seluas 450 m² ini akan cepat penuh,” jelas Faisol.

Semenjak diangkat menjadi Ketua Pengelola TPS GPA sekitar bulan November 2021, Faisol berusaha berpikir untuk mengatasi permasalahan tersebut. Ia pun berusaha mencari ide untuk mengatasi ini dengan berkonsultasi kepada mereka yang kompeten dalam pengelolaa sampah, termasuk dengan salah satu staf pengajar di UB yang sering dimintai pendapat terkait persampahan oleh DLH Kabupaten Malang.

Ia pun mencoba mempekerjakan beberapa orang untuk memilah sampah yang bisa di-recycle (kertas, botol, kardus) dan mewujudkan tungku pembakaran dengan corong tinggi di di pojok barat daya mepet dengan Kali Bodo yang masih rimbun dengan pepohonan bambu.

Dua pemilah sampah yang bisa didaur ulang di TPS GPA Karangploso

“Tungku ini perlu batu bata khusus yang tahan apa,” kata Faisol. “Oleh sebab itu biayanya tak murah untuk membangun tungku pembakaran tersebut.”

“Cerobong harus panjang ke atas, pintu besi harus ditutup agar pembakarannya terus stabil. Dengan pembakaran yang stabil, keluaran asap akan berkurang sehingga polusi bisa diminimalisir,” tambah Faisol.

Kedua peneliti YPS melakukan obrolan dengan Faisol hampir dua jam lamanya. Kemudian setelah itu berpamitan untuk melanjutkan melihat TPA Randuagung Singosari yang berjarak sekitar 16 kilometer.

Namun setelah keluar dari TPS GPA, sesampainya di Jalan Kepuharjo, kedua peneliti YPS berhenti di Warung Makan Cobek Bakar ABG yang berada di Dusun Wringin Anom, Desa Kepuharjo, Kecamatan Karangploso, untuk makan siang.

Peneliti Yayasan Percik Salatiga melihat sepintas aktivitas pengelolaan sampah di TPA Randuagung Singosari

Selesai makan siang, mereka lanjut menuju ke TPA Randuagung, dan tiba di lokasi pada pukul 14.42 WIB. TPA Randuagung merupakan tempat pembuangan akhir untuk seluruh timbunan sampah yang masih menggunakan metode open dumping.

Pada waktu di lokasi TPA Randuagung, kedua peneliti melihat lingkungannya di sana. Terlihat hilir mudik truk ukuran kecil dengan kontainer yang penuh sampah. Di atas tumpukan sampah, puluhan burung kuntul sedang mengais makanan. Selain itu, tampak juga satu alat berat bego (excavator) untuk meratakan tumpukan sampah agar tidak menggunung.

Sambil menyaksikan aktivitas di TPA Randuagung, kedua peneliti YPS mengobrol untuk mendapatkan gambaran sekilas pengelolaan sampah dengan dua petugas yang berkendara motor bak sampah milik DLH yang beroperasi di situ.

Peneliti Yayasan Percik Salatiga berdiskusi pengelolaan sampah plastik dengan pegiat pengelolaan sampah plastik di Pagak

Sekitar 15 menit berada di TPA Randuagung, kedua peneliti YPS melanjutkan perjalanan menuju ke Pagak untuk berjumpa dengan seorang penggiat lingkungan utamanya dalam pengelolaan sampah plastik, dan sekaligus menginiasi bank sampah sentral di desanya, yaitu Desa Gampingan.

Sebelumnya berjumpa dengannya, kedua peneliti YPS dengan dipandu Tim SMARThealth UB berkeliling sebentar untuk melihat Dusun Bekur, Desa Sumberejo, Kecamatan Pagak untuk melihat daerah pembakaran gamping dengan limbah plastik.

Setelah sempat menunggu sambil nongkrong di Warung Bubur Kacang Ijo depan Pasar Baru Gampingan. Kedua peneliti YPS akhirnya bisa berjumpa dengan pegiat lingkungan lepas Mahgrib, dan mengobrol tentang seluk beluk perjalanan pengelolaan sampah dari unsur pemberdayaan masyarakat hingga pukul 20. 33 WIB. *** [070623]

Oleh: Budiarto Eko Kusumo
Editor: Budiarto Eko Kusumo

Share:

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

Risk Checker

Risk Checker

Indeks Massa Tubuh

Supplied by BMI Calculator Canada

Statistik Blog

Sahabat eKader

Label

Arsip Blog