Tampilkan postingan dengan label Rembug Warga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rembug Warga. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 Juli 2024

Circle Conversation: Pagi Di Krebet Senggrong, Siang Di Bakalan

“Lingkaran menciptakan ruang yang menenangkan, bahkan orang yang pendiam pun dapat menyadari bahwa suara mereka diterima.” - Margaret J. Wheatley


Setelah selesai melaksanakan circle conversation di Desa Krebet Senggrong pagi, Tim CEI (Community engagement and involvement) dan fasilitator NIHR bergerak menuju ke Desa Bakalan yang berjarak sekitar 3,5 kilometer pada siang harinya.

Di Desa Bakalan, tepatnya bertempat di rumah salah seorang kader kesehatan Endah Susanti yang beralamatkan di Dusun Bakalan 1 RT 03 RW 01 Desa Bakalan, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang, juga diadakan circle conversation pada Kamis (11/07) sebagai bagian dari penelitian NIHR Global Health Research Centre for Non-Communicable Diseases and Environmental Change (NIHR-GHRC NGDs & EC).

Yang diundang jumlahnya pun sama, yakni 10 orang. Hanya saja yang di Desa Bakalan, tidak hadir satu orang dari laki-laki karena saking asyiknya merumput lupa kalau ada kegiatan circle conversation.

Bertindak dalam organizing committee (OC) adalah dua orang peserta photovoice (Sandi Cahyadi dan Mahmudah) serta pemilik rumah. Mereka berbagi peran sendiri, ada yang membantu administrasi maupun konsumsi serta notulensi.

Formasi circle conversation dari pintu masuk ruang tamu

Lalu, salah seorang Tim CEI Christina Arief T. Mumpuni, S.H., M.I.K. membantu notulensi dengan menggunakan laptop. Sementara, fasilitator NIHR membantu dalam mendokumentasikan pelaksanaan kegiatan ini.

Sama di Krebet Senggrong, circle conversation di Desa Bakalan ini dipandu langsung oleh Koordinator Tim CEI Haryani Saptaningtyas, S.P., M.Sc., Ph.D. Ia adalah seorang Direktur Yayasan Percik Salatiga (YPS), staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), dan penulis buku “This is our belief around here”: Purification in Islamic Thought and Pollution of Citarum River in West Java (LIT Verlag Münster, 2021). Pengalamannya ini, ia akrab dengan CEI, baik konsepsinya hingga implementasinya.

Kegiatan circle conversation di Desa Bakalan dimulai pada pukul 12.21 WIB. Mula-mula, Haryani memnadunya dengan perkenalan terlebih dahulu. Perkenalannya pun dibuat lain daripada yang lain, yang perkenalan dengan pengandaian dari peserta.

Semua peserta yang hadir dalam circle conversation ini, semua harus berbicara. Dimulai dari kader Mahmudah berurutan secara melingkar dari utara sisi barat dan terus ke utara sisi timur. Dalam perkenalan itu banyak imajinasi muncul dari peserta.

Koordinator Tim CEI menyimak cerita peserta satu per satu

“Seandainya saya dilahirkan kembali” maka peserta harus membuat pengandaiannya sendiri dan sekaligus menjelaskan atas pilihannya itu. Ada yang kepengin jadi payung, pohon, pohon kelapa, pohon pisang, padi, rumah, kupu-kupu, semar, sampah, batu, air, dan kue.

Yang mereka andaikan tersebut, semuanya memiliki manfaat bagi kemaslahatan. Kemaslahatan adalah istilah yang berkaitan dengan sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Termasuk peserta laki-laki yang menyebutkan ingin menjadi “sampah”, menjelaskan sampah bila didaur ulang akan memberikan manfaat banyak orang.

Perkenalan dengan pengandaian ini terlihat sepele. Namun menurut Haryani, perkenalan seperti itu mengajak seseorang belajar memikirkan sesuatu. “Kita terbiasa mendengarkan, tapi kita juga harus bisa mengungkapkan diri,” jelas Haryani. “Agar ada peningkatan diri. Kita menyebut nama terus mengacu kepada sesuatu yang lebih berguna.”

Setelah perkenalan, Haryani meminta peserta untuk bercerita mengenai pengelolaan sampah yang dihadapi dalam kesehariannya, namun dibatasi hanya maksimal 2 menit. “Banyak hal yang bisa didapat dari cerita ini,” kata Haryani.

Formasi circle conversation dari dalam rumah pemilik

Dibatasi 2 menit, maksudnya agar semua peserta bisa bercerita. Saat peserta bercerita, tentunya yang lain akan mendengarkannya. Hal ini, kata Haryani, akan mengajarkan kepada kita untuk mendengar secara adil.

Dari cerita itu dapat dimengerti perspektif mereka dalam pengelolaan sampah yang selama ini dilakukan oleh warga di sini pada umumnya. Ada yang membayar Rp 25 ribu perbulan agar sampahnya diambil secara teratur oleh petugas, ada yang dibakar di bak yang didirikan di pinggir sungai Bakalan bagi tidak punya lahan luas. Bagi yang punya lahan luas akan dibakar di halaman belakang.

Selesai bercerita, Haryani pun kemudian juga bercerita mengenai bahayanya sampah yang dibakar. “Kalau orang membakar sampah itu, dampaknya luar biasa,” jelas Haryani.

Kemudian Haryani menyampaikan kepada peserta bahwa masih ada 53% masyarakat di Indonesia yang masih membakar sampah. Menurut laporan penelitian yang dikutip Haryani, mengatakan bahwa orang yang membakar sampah 350 kali lebih berbahaya ketimbang asap rokok.

Peserta laki-laki giliran bercerita

Setelah memaparkan bahayanya sampah yang dibakar, Haryani meminta kepada peserta untuk memberikan pendapat atau saran terkait pengelolaan sampah dan pengaruhnya bagi kesehatan. Dari situ, muncul beragam pendapat. Ada yang mengatakan pemisahan sampah lebih berguna karena tidak menyebabkan penyakit tidak menular (PTM), di bawa ke bak sampah dan dibakar di sana, berlangganan sampah agar diangkut secara rutin, dan lain sebagainya.

Di penghujung circle conversation usai diskusi, Haryani mengatakan bahwa praktik pembakaran sampah masih terjadi. Karena sampah itu sebenarnya juga berkaitan dengan gaya hidup seseorang. Pesannya, kalau mau mengelola sampah dengan baik mungkin akan menjadi lebih bermanfaat.

Kegiatan circle conversation ini selesai pada pukul 13.18 WIB dan dipungkasi dengan closing statement dari peserta photovoice Sandi Cahyadi yang juga merupakan perangkat Desa Bakalan. Dari circle conversation itu, Sandi Cahyadi menympulkan tentang pengelolaan sampah yang berdampak bagi kesehatan. Ia pun menyarankan agar mengurangi pembakaran sampah, kalau pun terpaksa hendaknya harus menggunakan masker mengingat bahayanya seperti yang dijelaskan tadi oleh Koordinator Tim CEI.

Setelah itu, peserta diminta untuk makan siang bersama yang telah disiapkan oleh pemilik rumah. Dua baskom besar berisi nasi putih dan dua baskom besar berisi sayur sambal goreng kates dan tahu langsung ditempatkan di tengah pola lingkaran dari tempat duduk peserta. Kemudian disusul masakan telur dan tahu Bali serta kerupuk, dan sambal teri yang ngangeni. *** [120724]

Oleh: Budiarto Eko Kusumo
Editor: Budiarto Eko Kusumo

Share:

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

Risk Checker

Risk Checker

Indeks Massa Tubuh

Supplied by BMI Calculator Canada

Statistik Blog

Sahabat eKader

Label

Arsip Blog